Naik Kereta Api Mengitari Setengah Pulau Jawa (Part 2)

Rabu, 17 Desember 2014, 04:57 WIB.

Stasiun Kutoarjo tidak terletak di sebuah kota besar. Stasiun tersebut terletak di sebuah kecamatan yang menjadi bagian dari Kabupaten Purworejo. Jarak dari Kutoarjo menuju ibu kota kabupaten, Purworejo, (katanya) sekitar 9 kilometer. Kurang lebih sama dengan jarak dari Stasiun Bandung ke Stasiun Cimahi. Stasiun Kutoarjo sepertinya akan bernasib kurang lebih sama dengan stasiun-stasiun kecil lainnya di jalur kereta api Kroya-Yogyakarta, kalau bukan karena letak geografisnya yang strategis.

Dengan lokasi Purworejo yang tidak berada dalam bentangan garis lurus jalur kereta api utama, maka dibutuhkan sebuah stasiun percabangan yangmenghubungkan ibu kota kabupaten dengan jalur kereta api utama. Pemerintah kolonial Hindia Belanda akhirnya membangun jalur kereta api yang menghubungkan Purworejo dengan Kutoarjo. Sampai menjelang akhir dekade 2000-an, jalur percabangan ini masih aktif melayani warga Kota Purworejo yang hendak naik kereta api ke kota-kota lain via Kutoarjo, akan tetapi karena rendahnya okupansi kereta pengumpan (feeder) di jalur itu, akhirnya operasionalnya dihentikan. Otomatis, Stasiun Kutoarjo menjadi stasiun terbesar di wilayah Kabupaten Purworejo. Seluruh penduduk yang hendak naik kereta api, diarahkan menuju stasiun tersebut. Sejumlah kereta api mengawali/mengakhiri perjalanannya di Kutoarjo, yaitu Sawunggalih dan Kutojaya Utara dari Jakarta, Prambanan Ekspres dari Solo, dan tentu saja, Kutojaya Selatan dari Bandung. Itu semua belum termasuk kereta-kereta yang melewati Stasiun Kutoarjo, hanya sejumlah kereta api kelas Eksekutif saja yang tidak berhenti di stasiun tersebut.

Sang mentari belum terbit ketika kereta api Kutojaya Selatan yang saya tumpangi tiba di Stasiun Kutoarjo. Suasana stasiun yang tadinya sepi, mendadak dibuat ramai oleh para penumpang yang turun dari kereta kelas Ekonomi itu. Sebagian langsung keluar menemui orang yang menjemput mereka, sebagian lagi ada yang masih berdiam di area stasiun, entah di ruang tunggu atau di halaman stasiun. Mereka yang masih betah tinggal, ada yang ingin melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta atau Solo dengan Prambanan Ekspres, ada juga yang ingin melanjutkan perjalanan dengan bus ke tujuan-tujuan lainnya. Sepasang suami-istri yang duduk dekat saya di ruang tunggu stasiun, masih menunggu waktu yang tepat untuk beranjak ke terminal dan naik bus menuju Magelang; menurut mereka, bus tujuan Magelang baru beroperasi mulai jam 6 pagi.

Jalur 3 dari arah barat, segera masuk Kereta Api Bogowonto dari Jakarta Pasar Senen tujuan akhir Yogyakarta.

Biasanya, kereta Bogowonto terkenal dengan rangkaiannya yang berwarna biru; akan tetapi pagi itu rangkaian yang datang dari Jakarta tidak seluruhnya berwarna biru. Persis di belakang lokomotif, terdapat satu gerbong pembangkit listrik bernuansa putih-abu, diikuti satu kereta penumpang dengan livery terbaru PT KAI. Sayangnya, karena posisi kereta yang berbeda warna itu berada di ujung depan rangkaian, saya tidak sempat mengambil fotonya.

Kereta Api Bogowonto Jakarta-Yogyakarta di Stasiun Kutoarjo.

Kereta Api Bogowonto Jakarta-Yogyakarta di Stasiun Kutoarjo.

Singkat cerita, menjelang pukul 6 pagi, Prambanan Ekspres dari Yogyakarta tiba di Stasiun Kutoarjo. Semua penumpang Kutojaya Selatan yang tersisa, berbondong-bondong beranjak menuju loket karcis Prameks, kecuali saya. Satu-satunya penumpang Kutojaya Selatan yang masih bertahan di stasiun. Keluar dari area peron, saya langsung mendatangi salah satu mesin cetak tiket mandiri (CTM) yang disediakan di ruang tunggu utama stasiun. Begitu selesai memasukkan kode booking dan menekan tombol cetak, saya menemukan bahwa ada bagian dari data tiket saya yang tidak ikut tercetak, karena kesalahan posisi lembar tiket di mesin cetak. Beruntung saja, data-data yang penting (identitas penumpang, nama dan jadwal kereta, berikut barcode tiket) tidak ada yang tidak tercetak. Walaupun sempat membuat bingung petugas boarding, tapi akhirnya saya tetap bisa lolos pemeriksaan dan naik ke dalam kereta api Sawunggalih Pagi.

Ya, kereta berikutnya yang akan saya tumpangi adalah KA Sawunggalih Pagi. Kereta api yang satu ini bisa dibilang unik, karena formasinya yang tidak seragam. Untuk pemberangkatan pagi dari Kutoarjo dan malam dari Jakarta, tersedia dua kelas layanan penumpang: Eksekutif dan Bisnis. Sedangkan untuk pemberangkatan pagi dari Jakarta dan malam dari Kutoarjo, hanya tersedia kelas Bisnis. Dalam perjalanan kali ini, saya memilih kelas Bisnis; selain pertimbangan biaya, juga karena ingin mencoba kelas layanan yang berbeda-beda. Setelah malam sebelumnya menjajal kereta kelas Ekonomi, pagi itu saya upgrade ke kelas Bisnis.

Pada saat pemesanan tiket, saya memilih kereta paling belakang dari 6 kereta Bisnis yang tersedia di rangkaian Sawunggalih pagi itu. Begitu saya memasuki kereta nomor 6, ternyata belum ada penumpang lain yang naik; di dalam kereta hanya ada dua orang petugas PUK (Pengawas Urusan Kereta) dipo Kutoarjo, yang sedang mengecek kondisi rangkaian kereta api. Dinginnya suhu di dalam dan di luar kereta membuat seluruh jendela kereta berembun.

Interior KA Sawunggalih Pagi (K2 0 78 43 KTA)

Interior KA Sawunggalih Pagi (K2 0 78 43 KTA)

CC 206 61 PWT siap menarik rangkaian KA Sawunggalih Pagi

CC 206 61 PWT siap menarik rangkaian KA Sawunggalih Pagi

Menjelang jam 6:30, datang Kereta Api Progo dari Pasar Senen. Begitu kereta berhenti, sejumlah petugas langsung mendatangi kereta Ekonomi 2, dua orang diantaranya naik ke dalam kereta membawa tandu. PPKA (Pemimpin Perjalanan Kereta Api) Stasiun Kutoarjo langsung mengumumkan penundaan pemberangkatan Kereta Api Progo, sebelum menyusul melihat situasi di kereta Ekonomi 2. Sekitar lima menit berlalu, petugas-petugas yang membawa tandu keluar dengan tandu yang masih terlipat, dan akhirnya PPKA mempersilakan masinis KA Progo melanjutkan perjalanan. Usut punya usut, keesokan harinya saya membaca info di forum Semboyan35 bahwa ada penumpang KA Progo yang meninggal dalam perjalanan tersebut, sehingga begitu kereta tiba di Kutoarjo, langsung disediakan tandu. Namun, pihak keluarga menginginkan agar penumpang yang meninggal tetap dibawa ke Yogyakarta.

Singkat cerita, waktu akhirnya menunjukkan tepat jam 7 pagi, dan PPKA akhirnya memberangkatkan Kereta Api Sawunggalih Pagi. Embun di jendela perlahan hilang, membuat pemandangan ke luar kereta tidak lagi terhalang apapun. Di bagian awal perjalanan, pemandangan masih didominasi area persawahan warga sekitar.

Persawahan di pinggir rel kereta api

Persawahan di pinggir rel kereta api

Belum lama kereta meninggalkan Kutoarjo, saya mulai merasa lapar. Biasanya, kru restorasi akan muncul setelah kondektur lewat dan memeriksa tiket penumpang. Akan tetapi, pagi itu orang yang saya tunggu-tunggu itu tak kunjung datang, sekalipun setelah kondektur selesai memeriksa tiket. Bosan menunggu, akhirnya saya memutuskan datang ke kereta makan, dan langsung memesan seporsi nasi goreng. Lima belas menit kemudian, seorang kru restorasi datang membawakan pesanan saya yang masih hangat. Nasi goreng yang porsinya tidak terlalu besar itu lebih cepat habisnya daripada waktu memasaknya, tapi setidaknya bisa menghilangkan rasa lapar saya hingga jam makan siang. Satu hal yang cukup menarik perhatian saya, rupanya ada perbedaan standar nasi goreng di kereta api, yaitu pada komposisi lauknya. Di kelas Eksekutif, menu standar nasi goreng adalah dilengkapi telur mata sapi dan ayam goreng, tapi untuk kelas Bisnis dan Ekonomi tidak dilengkapi ayam goreng, hanya telur mata sapi.

Nasi Goreng KA Sawunggalih Pagi, tanpa ayam goreng

Nasi Goreng KA Sawunggalih Pagi, tanpa ayam goreng

Bon pesanan Nasi Goreng KA Sawunggalih, Rp. 25.000,-

Bon pesanan Nasi Goreng KA Sawunggalih, Rp. 25.000,-

Selesai sarapan, saya kembali menyibukkan diri dengan kamera dan smartphone secara bergantian. Kamera untuk memotret pemandangan di sepanjang perjalanan kereta, smartphone untuk mencatat detail laporan perjalanan (LAPKA). Pemandangan masih didominasi persawahan, namun kali ini ditambah latar belakang perbukitan/pegunungan. Di suatu titik, kereta menyeberangi jembatan di atas Kali Serayu.

Persawahan lagi...

Persawahan lagi…

Kali Serayu, dilihat dari KA Sawunggalih Pagi

Kali Serayu, dilihat dari KA Sawunggalih Pagi

Tidak jauh dari jembatan tersebut terdapat titik terjadinya tabrakan kereta api head-to-head di tahun 1981. Setelah menyeberangi jembatan di atas Kali Serayu, Kereta Api Maja dari Madiun menabrak Kereta Api Senja IV dari Jakarta, pada malam hari tanggal 21 Januari 1981. Kecelakaan terjadi akibat masinis KA Maja melanggar sinyal merah Stasiun Kebasen. Sedikitnya tujuh orang meninggal dalam kecelakaan tersebut, dan kedua lokomotif yang terlibat kecelakaan (CC 201 33 dan CC 201 35) dinyatakan damaged beyond repair, sebelum genap 3 tahun dioperasikan (kedua lokomotif didatangkan dari Amerika Serikat tahun 1978). Tiga puluh tiga tahun berlalu, indahnya pemandangan di petak jalan Kebasen-Notog itu tampak seakan-akan tidak pernah menyimpan sebuah kisah kelam perkeretaapian Indonesia. Bagi penumpang yang hilir mudik tanpa mengetahui kejadian tersebut, tentu tidak menyadari bahwa di tempat tersebut pernah terjadi kecelakaan kereta api. Suasananya tampak tenang. Dilihat dari dalam kereta, petani setempat tampak sibuk dengan kegiatan mereka di sawah.

Kumpulan petani yang sedang sibuk bekerja di sawah...

Kumpulan petani yang sedang sibuk bekerja di sawah…

Tanpa terasa, akhirnya Kereta Api Sawunggalih tiba di Stasiun Purwokerto, stasiun terbesar di Daerah Operasi V. Jika sedari Kutoarjo saya menjadi satu-satunya penumpang biasa (di saat enam orang lainnya yang mengisi Bisnis 6 seluruhnya adalah pegawai PT KAI), maka di Stasiun Purwokerto populasi penumpang biasa di Bisnis 6 bertambah sebanyak tiga orang.

Kereta Api Sawunggalih singgah di Stasiun Purwokerto

Kereta Api Sawunggalih singgah di Stasiun Purwokerto

Kereta Api Sawunggalih singgah di Stasiun Purwokerto

Kereta Api Sawunggalih singgah di Stasiun Purwokerto

Papan nama Stasiun Purwokerto

Papan nama Stasiun Purwokerto

Keretaku tak berhenti lama.

Begitulah penggalan dari syair lagu anak-anak yang sudah sangat dikenal orang Indonesia. Begitulah kenyataannya, keretaku tak berhenti lama di Stasiun Purwokerto, hanya lima menit saja. Jalur kereta api dari Purwokerto sampai Cirebon hampir 100% jalur ganda, sehingga tidak ada lagi yang namanya persilangan kereta api. Beroperasinya jalur ganda membawa keuntungan, yaitu waktu tempuh kereta api berkurang karena tidak perlu lagi bergantian melewati jalur tunggal. Di sisi lain, hilangnya persilangan kereta api berarti hilang juga satu moment yang biasanya diabadikan para railfans seperti saya. Selain kehilangan moment, khusus imbas dari beroperasinya jalur ganda Purwokerto-Cirebon, saya juga kehilangan sensasi menyeberangi Jembatan Sakalimolas, jembatan kereta api yang sama tersohornya seperti Jembatan Cikubang di Daop II Bandung. Kini, Jembatan Sakalimolas yang lama telah digantikan dengan jembatan jalur ganda yang baru, yang dinamakan Sakanenem, karena tiang penyangganya yang berjumlah enam (dibandingkan lima belas tiang pada jembatan yang lama).

Tikungan sebelum Jembatan Sakalimolas (dari arah Purwokerto)

Tikungan sebelum Jembatan Sakalimolas (dari arah Purwokerto)

Tak jauh dari Jembatan Sakalimolas/Sakanenem terletak Stasiun Bumiayu. Stasiun yang dahulu sering melayani pemberhentian kereta api, kini hanya melayani sedikit sekali kereta api yang berhenti di sini, salah satunya Sawunggalih Pagi dari Kutoarjo. Sisa kereta api yang lain, termasuk Sawunggalih Pagi dari Jakarta, bablas di Stasiun Bumiayu.

Kereta Api Sawunggalih Pagi mampir di Stasiun Bumiayu

Kereta Api Sawunggalih Pagi mampir di Stasiun Bumiayu

Mayoritas yang naik dari Stasiun Bumiayu adalah penumpang kelas Bisnis, kecuali satu orang yang tampak di foto di atas, yang memegang tiket kelas Eksekutif. Setelah semua penumpang naik, kereta kembali melanjutkan perjalanannya. Dari tempat saya duduk, saya bisa melihat ada juga penduduk setempat yang masih berdiri di ruang tunggu stasiun, melihat kereta yang saya tumpangi meninggalkan Stasiun Bumiayu.

PPKA Stasiun Bumiayu dan penduduk setempat melepas keberangkatan KA Sawunggalih Pagi

PPKA Stasiun Bumiayu dan penduduk setempat melepas keberangkatan KA Sawunggalih Pagi

Pemberhentian berikutnya dari Kereta Api Sawunggalih Pagi adalah Stasiun Ciledug. Di stasiun tersebut, kereta berhenti cukup lama untuk bersilang dengan Kereta Api Gajah Wong tujuan Yogyakarta. Sebagian penumpang turun dari kereta untuk merokok, sambil menunggu proses persilangan, sedangkan saya bersiap di bordes untuk merekam moment persilangan KA Sawunggalih Pagi dengan kereta kelas Ekonomi tadi.

Begitu KA Gajah Wong lewat, kembali terdengar pengumuman lain.

Jalur 2 dari arah barat, sebentar lagi masuk Kereta Api Fajar Utama, Kereta Api Fajar Utama tujuan akhir Yogyakarta, masuk di jalur 2. Setelah 2 masuk, jalur 3 Kereta Api Sawunggalih Utama persiapan untuk berangkat kembali.

Penumpang KA Sawunggalih Pagi masih harus bersabar, keretanya kembali harus mengalah dengan kereta relasi Jakarta-Yogyakarta lainnya. Beruntung bagi saya, karena ketambahan satu moment persilangan lain.

Dari jadwal berhenti selama tujuh menit saja, saat itu Kereta Api Sawunggalih Pagi telah menghabiskan waktu sekitar 30 menit berhenti di Stasiun Ciledug. Perjalanan belum berlangsung lama ketika kereta harus kembali berhenti di Stasiun Sindanglaut, kali ini bersilang dengan sesama Sawunggalih Pagi dari Jakarta. Saat itu saya sedang tidak siap di bordes, sehingga tidak sempat merekam moment persilangan sesama KA Sawunggalih Pagi. Seakan belum puas berhenti, kereta kembali mandek di stasiun berikutnya, Stasiun Luwung. Awalnya dipikir mau bersilang dengan KA Argo Dwipangga, tapi ternyata kereta cuma mampir semenit.

Sekitar sepuluh menit perjalanan dari Stasiun Luwung, kereta mulai memasuki Kota Cirebon. Bangunan Grage City Mall, yang berdiri di sisi kanan arah laju kereta, menyambut kedatangan KA Sawunggalih di Kota Udang. Tidak berapa lama kemudian, kereta melintasi Stasiun Cirebon Prujakan, menyusul sebuah rangkaian kereta peti kemas dari Surabaya tujuan Jakarta.

Menyusul kereta peti kemas di Stasiun Cirebon Prujakan

Menyusul kereta peti kemas di Stasiun Cirebon Prujakan

Singkat cerita, akhirnya Kereta Api Sawunggalih Pagi berhenti di Stasiun Cirebon, tujuan saya dalam perjalanan kali itu. Sebelum kereta berhenti, kru restorasi memutarkan melodi lagu “Di tepian sungai Serayu” sebagai tanda perpisahan dengan para penumpang yang turun di Cirebon.

Sampai juga di Cirebon...

Sampai juga di Cirebon…

Sebagai penutup, saya lampirkan LAPKA Sawunggalih Pagi Kutoarjo-Cirebon, edisi perjalanan Rabu, 17 Desember 2014:

Laporan Perjalanan Kereta Api (LAPKA)

Nama Kereta: SAWUNGGALIH PAGI

Nomor Kereta: 121

Jadwal Berangkat: KUTOARJO (KTA), 17 DEC 2014 07:00

Realisasi: KUTOARJO (KTA), 17 DEC 2014 07:00 (+ 0 menit)

Jadwal Tiba: CIREBON (CN), 17 DEC 2014 11:41

Realisasi: CIREBON (CN), 17 DEC 2014 12:00 (+ 19 menit)

Durasi Perjalanan: 5 jam 0 menit

Formasi Rangkaian: CC 206 61 – 6 K2 – MP2 0 86 02 – 1 K1 – MP2 LD

Dipo Induk Lokomotif: Purwokerto (PWT)

Dipo Induk Rangkaian: Kutoarjo (KTA)

// 07:00 KUTOARJO (KTA)

LS. 07:05 Butuh (BTH)

LS. 07:09 Prembun (PRB)

LS. 07:19 Kutowinangun (KWN), X KA 170/171 Logawa PWT-SGU-JR

LS. 07:22 Wonosari (WNS)

07:27-07:31 Kebumen (KM)

LS. 07:34 Soka (SOA)

LS. 07:38 Sruweng (SRW)

07:42-07:44 Karanganyar (KA)

07:52-07:56 Gombong (GB)

LS. 08:02 Ijo (IJ)

LS. 08:05 Tambak (TBK)

LS. 08:09 Sumpiuh (SPH)

LS. 08:14 Kemranjen (KJ)

08:18-08:26 Kroya (KYA)

LS. 08:34 Randegan (RDN)

LS. 08:39 Kebasen (KBS)

08:47-08:48 Notog (NTG)

08:59-09:03 Purwokerto (PWT)

LS. 09:11 Karanggandul (KGD)

LS. 09:19 Karangsari (KRR)

LS. 09:29 Patuguran (PAT)

LS. 09:35 Kretek (KTK)

09:42-09:45 Bumiayu (BMA)

LS. 09:55 Linggapura (LG)

LS. 10:02 km ** PPK, X KA 182 Kutojaya Utara PSE-KTA

LS. 10:04 Prupuk (PPK)

(DAOP V PWT | DAOP III CN)

10:17-10:19 Larangan (LRA), X KA 80/77 Purwojaya GMR-KYA-CP

LS. 10:27 Ketanggungan (KGG)

LS. 10:31 Ketanggungan Barat (KGB)

10:45-11:18 Ciledug (CLD), X KA 138 Gajah Wong PSE-YK, X KA 118 Fajar Utama Yogya PSE-YK

LS. 11:30 Karangsuwung (KRW)

11:34-11:38 Sindanglaut (SDU), X KA 122 Sawunggalih Pagi PSE-KTA

11:45-11:46 Luwung (LWG)

LS. 11:57 Cirebon Prujakan (CNP), || KA 2507 Peti Kemas KLM-TPK

\\ 12:00 CIREBON (CN), X KA 18 Argo Jati GMR-CN

LS. = Berjalan langsung

X = Bersilang dengan

One response to “Naik Kereta Api Mengitari Setengah Pulau Jawa (Part 2)

Leave a comment